Artikel berikut adalah mengenai salah satu tagline/rubrik/label blog "Celethukan Mas Maryono". Tagline ini saya pribadi tuliskan sebagai sebuah pembelajaran bersama tentang sesuatu yang saya pribadi rasakan adanya sebuah keanehan atau ketidaksesuaian dengan apa yang harusnya terjadi. Bukan berarti saya merasa paling benar namun sekedar sebagai sebuah grundelan wong cilik.

Wong Cilik adalah sebuah frasa untuk menunjukkan strata seorang yang lebih rendah dalam artian kedudukan atau rakyat jelata. Sebagaimana dalam Wikipedia dijelaskan wong cilik adalah i
stilah ini digunakan untuk menggambarkan kelas sosial dalam masyarakat tradisional Jawa yang sama dengan "rakyat jelata" dalam masyarakat feodal (http://id.wikipedia.org/wiki/Wong_cilik).

Maka kemudian wong cilik identik dengan ketakberdayaan, lemah, kecil, tak punya kekuasaan. Jauh jika dibandingkan dengan kaum priyayi. Istilah wong cilik ini kemudian tak hanya ada pada masyarakat feodal saja. Bahkan sampai sekarang istilah ini masih digunakan. Sebagaimana sindiran keras Cak Nun dalam puisinya yang berjudul "Presiden Balkadaba" sebagai berikut.
Puisi-puisi ini bukan untukmu
Karena engkau adalah kekuatan
Sedangkan puisiku adalah ketakberdayaan
Karena engkau adalah riuh rendah kejayaan
Sedangkan puisiku adalah bisunya kesunyian. (Cak Nun dalam Presiden Balkadaba)
Nah, dalam puisi di atas Cak Nun menggunakan puisi sebagai sarana untuk menyampaikan sebuah aspirasi maupun kritikan. Namun sebagai wong cilik dengan sadar beliau menyampaikan bahwa puisi tersebut bukanlah apa-apa dibandingkan kekuasaan yang dimiliki oleh "Sang Priyayi". Sebagai sebuah sindiran halus kalau kita memahami dalam istilah jawa "dupak bujang, esem mantri, semu bupati" bahwa untuk mengingatkan seorang yang setingkat lebih tinggi tidak perlu dengan cara langsusng. Senyum saja seharusnya sudah cukup untuk mengingatkan. Tapi lagi-lagi wong cilik tetap wong cilik, semu bupati barangkali sudah tak ampuh, dupak bujang juga tak patut jua tak dapat dipahami bahkan wong cilik hanya mampu nggerundel tanpa adanya solusi.

ya... Wong cilik harus lebih lapang dada, legowo tompo nasib'e. Wong cilik harus tahu diri, suaranya terlalu kecil untuk didengarkan. Wong cilik pun menyingkir, duduk menyeruput kopinya dan semua sekedar obrolan di warung kopi. Sekedar hiburan barangkali ada yang mau belajar dari kekerdilannya.