Malam ini, menyaksikan pentas “Bagong Gugat” oleh Teater Beta dari UIN Walisongo yang dipentaskan di auditorium kampus 1 IAIN Salatiga serasa melihat ke dalam dunia manusia sendiri. Ya itulah wayang sebagai sebuah bayangan (gambaran) kehidupan manusia. Pementasan Karya: Danang Dika Atmaja dan Sutradara: Muhammad Kafabih ini menceritakan sebuah puncak frustasi wong cilik yang diperankan oleh bagong.
dari apa yang saya tangkap ceritanya seperti ini:
Alkisah, Arjuna terpikat oleh kecantikan Dewi Anggraini yang baru saja diselamatkannya dari cengkeraman Raksana (Buto). Sebagai wujud terima kasih, apapun permintaan Arjuna akan dipenuhi oleh Dewi Anggraini. Merasa mendapatkan lampu hijau, Arjuna meminta balasan cinta dari Dewi Anggraini. Dewi Angrraini menjadi bingung sebab ia telah salah mengatakan yang demikian karena ia sudah bersuami Ekalaya. Dewi Anggraini sudah pasti harus menolak cinta Arjuna, Arjuna tetap memaksa. Anggraini lari menjauhi Arjuna dan akhirnya jatuh ke dalam jurang.
Ekalaya adalah seorang ksatria yang sakti, sebab ia dapat menguasai ajian Danurwenda hanya dari patung Resi Durna gurunya Arjuna.
Mengetahui istrinya mati oleh Arjuna, Ekalaya pun menuntut balas. Dikejarlah Arjuna oleh Ekalaya. Ekalaya menang. Arjuna mati. Gemparlah jagat perwayangan. Kresna dan Durna turun tangan. Alih-alih demi kebaikan banyak pihak, Arjuna dihidupkan kembali oleh Kresna. Arjuna yang hidup kembali marah dan ingin membalas dendam pada Ekalaya. Tapi tidak mungkin ia bisa menang. Lalu dicarilah akal oleh Resi Durna bagaimana Ekalaya bisa dibunuh dan agar kesahan Arjuna dapat ditutupi.
Durna mendatangi Ekalaya, ia meminta Ekalaya menyerahkan cincin yang menjadi kelemahannya. Merasa sangat menghormati Durna Ekalaya pasrah saja. Ia tidak tahu akal licik Durna. Setelah kelemahan Ekalaya diambil, Arjuna akhirnya dapat membunuh Ekalaya.
Menyaksikan ketidakadilan ini, Bagong resah, frustasi. Ini tak bisa dibenarkan. Ini adalah kesalahan besar. Bagong bertanya kesana sini namun tak mendapatkan jawaban. Keresahan Bagong memuncak menjadi gelembung-gelembung keresahan disana sini, meluas.
Bagong punya akal. Lantas Bagong menyamar sebagai Dewa dan hendak mengadili Arjuna, Kresna dan Durna. Bagong dengan kemampuannya, berperan layaknya hakim yang sedang mengadili para tersangkanya. Hingga akhirnya diketahui oleh Semar. Semar yang bijak mendamaikan mereka. Semar berpesan ” Ojo Gumuman” itulah kekuasaan. Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Satu sisi untuk membunuh musuh, sisi lain akan menghancurkan diri sendiri.
Dalam pementasan ini, penonton dibuat terpingkal-pingkal oleh aksi punakawan dengan tetap tidak meninggalkan cerita.
========================
Nah ini saya copykan pelajaran yang dapat diambil: https://www.facebook.com/notes/suryokoco/aja-gumunan-aja-getunan-aja-kagetan-aja-aleman/10152317550072104:
Pelajaran sederhana bermakna dalam dari masyrakat Jawa…  “jangan mudah kagum (aja gumunan); jangan mudah menyesal (aja getunan) ; jangan mudah terkejut  (aja kagetan); jangan manja (aja aleman)”.
“Aja Gumunan / jangan mudah kagum” adalah pelajaran untuk kita tidak mudah heboh atas sebuah peristiwa atau kejadian yang kita lihat. Kehebohan itulah yang justru membuat kita terlihat bodoh. Sikapi segala sesuatu dengan tenang dan anggap semuanya adalah kewajaran yang luar biasa.
“Aja Getunan / jangan mudah menyesal”! adalah pelajaran untuk selalu menyadari bahwa setiap hal yang kta puutuskan selalu mempunyai resiko, dan atas resiko yang terjadi maka kita harus selalu siap. Sesal kemudian tidak bergunan. Selalu berpikir postif dan belajar atas semua kejadian adalah hal yang lebih baik.
“Aja Kagetan / jangan mudah terkejut”, adalah pelajaran untuk kita bersikap  waspada, mawas diri, fleksibel, dan tidak reaktif.  Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, oleh karenanya jangan pernah meremehkan sesama! Bersikaplah secara wajar dan bijak.
“Aja Aleman / jangan manja”, hidup kita adalah tanggungjawab kita, setiap kewajiban kita perlu dikerjakan tanpa harus mendapat pujian dan sanjungan. Hidup tidak selalu mudah,   tidak perlu berkeluh-kesah dan merenggek  karena mengeluh dan merenggek tidak akan menyelesaikan maslah kita. Hidup itu mesti diperjuangkan dengan penuh kegigihan.