MENGGAPAI SIDRATUL MUNTAHA
Zuhri, Muhammad. 2007. Mencari Nama Allah Yang Keseratus. Jakarta: Serambi.
----ooo000ooo---

Setiap agama memiliki simbol-simbol unik untuk menggambarkan secara ringkas pengalaman spiritual yang dihadapi pembawanya selama dalam proses penemuan wujud Tuhan. Demikian pula Rasulullah saw. mewariskan kepada kita simbol-simbol yang khas dari perjalanan beliau memenuhi panggilan Allah. Salah satu diantaranya adalah “Sidratul Muntaha.”

LAMBANG DERAJAT SPIRITUAL
“Sidratul Muntaha” adalah sebuah ungkapan kata yang secara harfiah bermakna puncak pohon bidara. Pohon bidara merupakan simbol sebuah kehidupan yang ada di dalam diri manusia, yang bukan bersifat fisikal maupun psikis, melainkan spiritual. Maka ia disebut sebagai tempat, kedudukan atau maqam rohaniah. Puncaknya sangat tinggi sehingga tidak setiap individu bisa selamat sampai kesana. Selain itu, ia merupakan batas di mana seseorang sudah tidak mampu lagi berkembang.
Syekh “Arif-billah Muhammad ibn “Abdul Jabbar al-Nifari menyebutnya sebagai maqam “waqfah” atau titik henti perjalanan hamba Allah, yaitu ketika seseorang telah berada di antara dua tangan Tuhan. Alquran melukiskannya lewat perumpamaan kedekatan Nabi saw. dengan Khaliknya, “bagai dua lengkung busur yang saling bertangkap-tangkapan, atau lebih rapat lagi” (al-Najm:9-10)
Oleh karena Sidratul Muntaha bersifat spiritual, maka akal kita tidak akan mampu memahaminya tanpa rambatan proses yang mengantarkan beliau ke sana, yaitu peristiwa Israk dan Mikraj Rasulullah saw.

PERJALANAN SPIRITUAL RASULULLAH SAW.
Peristiwa Israk dan Mikraj merupakan perjalanan horizontal yang dilanjutkan perjalanan vertikal Nabi saw. yang bersifat spiritual. Hal itu menjelaskan bahwa beliau memang benar-benar dijalankan Allah dengan jasadnya. Karena, yang dimaksud dengan “spiritual” adalah sisi esensial manusia yang hanya bisa tumbuh menjadi dewasa lewat perilaku yang bersifat eksistensial. Lain halnya dengan pikiran, imajinasi atau khayalan yang bisas mengembara ke mana saja tanpa jasad.

PERJALANAN HORIZONTAL (ISRA’)
Pada saat martabat manusia terpuruk ke lembah jahiliah (tanggal 27 bulan komariah, gelap) Sang Nabi saw. dijalankan oleh Allah, ketika beliau tidak sedang berorientasi kebutuhan jasmaniah (malam, spiritual), dari Rumah akal (Hukum, Baitul-Haram), ke Rumah Qalb (Kesucian, Baitul Muqaddas), yang menyimpan rahasia keabadian manusia (diberkahi sekitarnya). Maka yang tampak dalam kesadaran beliau saat itu bukanlah nilai-nilai pragmatis dari ojek yang dijumpai, melainkan nilai-nilai kehidupan spiritual yang sedang dijelaskan Allah kepadanya (ayat-ayat Tuhan).
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uŽó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 šÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$#
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kami. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (al-Isrâ’:1)

Perjalanan horizontal seorang hamba yang bertujuan memenuhi panggilan allah (bertemu dengan-Nya), tidak bisa tidak akan berwujud tindakan set-back dari “rumah kini” (akal, ilmu, hukum, Baitul Haram) menuju ke “rumah lama” (qalb, makrifat, kesucian, Baitul Muqaddas). Yaitu, sebuah terminal yang memungkinkan seseorang berangkat ke sana. Karena potensi akal hanya mampu berorientasi pada fenomena-fenomena alam dan kausalitas-natural, serta condong untuk mengukur segala sesuatu dengannya. Padahal yang akan dihadapinya saat itu adalah semua hal yang telah dilengahkan, yaitu kausalitas transenden atau semua hal yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Misalnya sekian banyak dosa yang belum diobati maupun berbagai nikmat yang belum disyukuri.
Bandingkan dengan pengalaman Nabi Musa a.s. saat beliau surut, sampai di pertemuan dua samudra (al-Kahfi:64), pada saat beliau akan diajari Allah lewat penghayatan langsung tentang betapa tidak berartinya semua ilmu pengetahuan yang dimiliki di depan amr-Allah.

PERJALANAN VERTIKAL (MIKRAJ)
Rasulullah saw. dalam dalam mikrajnya melewati tujuh jenjang spiritual (tujuh tingkat langit) yang masing-masing digambarkan lewat pertemuan beliau dengan Para Nabi sebelumnya.
Pertemuan beliau dengan para nabi di tiap langit:
Di Langit
Bertemu dengan
Lambang


Pertama
Nabi Adam a.s.
Kesatuan
Materi

Kedua
Nabi Yahya a.s.
Nabi Isa a.s.
Kesadaran untuk tumbuh
Hidup
Air
Ketiga
Nabi Yusuf a.s.
Kebebasan
Nafsu

Keempat
Nabi Idris a.s.
Kreativitas
Akal

Kelima
Nabi Harun a.s.
Kesetiaan
Iman
Susu
Keenam
Nabi Musa a.s.
Keteguahan (nubuwah)
Islam
Anggur
Ketujuh
Nabi Ibrahim a.s
Pengorbanan (risalah)
Ihsan
Madu

Hierarki vertikal dari tingkat materi, hidup, nafsu, sampai akal, kita kenal sebagai “evolusi-fisikal”. Sedang dari tingkat iman, islam (nubuwah), sampai ihsan (risalah) kita sebut sebagai “evolusi spiritual”.
Tujuh jenjang evolusi yang telah ditempuh dengan sempurna oleh Nabi saw. dalam mikrajnya menandakan proses pembentukan diri beliau telah mewadai untuk mewakili semestanya secara fisikal maupun spiritual.
Sebagai subjektifikasi semesta-alam (spiritual power) beliau terlempar dalam kesendirian di Sidratul Muntaha dan tak ada mitra dialog lagi selain Allah. Di situ beliau menemukan kata-ganti Tuhan sebagai “Engkau” dan Allah berkenan memanggilnya sebagai ‘engkau’ (al-Fatihah:5; al-Qalam:4; al-Maidah:67).
Betapa besar arti kehadiran seseorang yang berpredikat sebagai “Mitra Dialog Tuhan”, dapatlah kita pahami lewat firman-Nya di bawah ini.
$tBur šc%Ÿ2 ª!$# öNßgt/ÉjyèãÏ9 |MRr&ur öNÍkŽÏù 4 $tBur šc%x. ª!$# öNßgt/ÉjyèãB öNèdur tbrãÏÿøótGó¡o
dan Allah tidak sekali-kali akan mengazab mereka, sedang “engkau” berada di antara mereka. dan tidak pula Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (al-Anfal:33)
  
Di langit ke tujuh, ketika beliau akan turun ke semesta eksistensial, beliau dihadang oleh Jibril dengan empat gelas minuman yang masing-masing berisi air, susu, anggur, dan madu, yang kesemuanya merupakan simbol perolehannya sendiri di dalam mikraj. Beliau memilih gelas yang berisi susu. Pilihan itu mengisyaratkan peran yang akan dilaksanakan beliau di tengah umatnya kelak, yaitu sebagai syuhada yang terjun langsung memimpin umat di dalam revolusinya.
Makna lambang-lambang dan lingkungannya (Peta Surga).
1
Air
Sarana
Shalihin
Af’al
Fasilitator
2
Susu
Situasi
Syuhada
Asma
Motivator
3
Anggur
Proses
Shiddiqin
Sifat
Dinamisator
4
Madu
Struktur
Nabiyyin
Zat
konseptor

Allah berfirman, "Inilah hari orang yang cinta kebenaran (shiddiqin) memetik buah dari kebenarannya. Bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka tinggal di situ selamanya” (al-Ma’idah:119).

Simbol-simbol : air, susu, anggur, dan madu ada di dalam al-Naẖl: 65-69.
`tBur ÆìÏÜム©!$# tAqß§9$#ur y7Í´¯»s9'ré'sù yìtB tûïÏ%©!$# zNyè÷Rr& ª!$# NÍköŽn=tã z`ÏiB z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# tûüÉ)ƒÏdÅ_Á9$#ur Ïä!#ypk9$#ur tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur 4 z`Ý¡ymur y7Í´¯»s9'ré& $Z)ŠÏùu ÇÏÒÈ
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul, mereka akan bersama orang-orang yang dibeeri kenikmatan oleh Allah dari golongan Nabiyyin, Shiddiqin, Syuhadadan Shalihin. Alangkah baik mereka sebagai kawan. (al-Nisâ’:69)

KEBIJAKAN MANUSIA PILIHAN
Betapa besar arti penemuan “ke-engkau-an”Allah di dalam sejarah kekhalifahan Tuhan di muka bumi dapatlah kita pahami, karena ajarannya membuat sasaran pengabdian kita semakin jelas, yaitu kepada siapa saja kita engkau-kan (kawan hubungan dialogis) di dallam semesta kehidupan. Dengan kata lain kita telah menemukan Tuhan di dalam ‘engkau’.Hal yang demikian memang bisa terjadi manakala kita mampu menisbahkan setiap yang kita engkau-kan dengan ‘Engkau yang Sebenarnya’, yaitu Allah. Tetapi kita tidak akan melakukannya sebelum menyadari bahwa di balik setiap ciptaan terdapat amr-Allah. Dan amr-Allah itulah yang seharusnya kita tanggapi ketika kita berdialog dengan warga semesta.
Sungguh, milik-Nyalah ciptaan dan amar itu. Mahaberkah Allah Tuhan semesta alam. (al-A’râf:54)
Maka kemana saja engkau menghadap di sana wajah Allah. (al-Baqarah:115)
Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah mengerjakan amal kebaikan. Dan dalam beribadah kepada Tuhannya, jangan persekutukan Ia dengan siapa pun juga. (Q.S. al-Kahfi:110)

“Wahai hamba-Ku, aku lapar. Mengapa engkau tidak memberi-Ku makanan?” sabda Tuhan kepada hamba-Nya.
“Mahasuci Engkau, Ya Allah! Bagaimana saya bisa memberi-Mu makanan, sedang engkau Rabbul-alamin?” jawab hamba.
“Lihat, tetanggamu ada yang lapar! Bawakan ia makanan. Engkau akan bertemu dengan-Ku di sana,” jawab Tuhan (hadis Qudsi).
Itulah kebijakan yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya di Sidratul Muntaha dan disampaikan beliau kepada umatnya berupa ibadah “salat” yang kemudian menjadi mikrajnya kaum muslim.

PERSPEKTIF SALAT
Menurut wujudnya, salat memiliki tiga kiblat yang manifestasinya mengungkapkan dimensi ideologi dalam Islam, yaitu Kiblat Vertikal dan Kiblat Horizontal. Kiblat Horizontal meliputi aspek sosial dan aspek kultural.

KIBLAT VERTIKAL
(Hadhrah al-A’lâ; Ilâh al-Nâs)
“Salat” adalah menghadap kepada Ilah, Yang Maha Esa, Penguasa Yang Mutlak, Sempurna dan Tak Tergambarkan, dengan hati yang khusyuk dan tawaduk. Di dalamnya kita panjatkan takbir, tasbih, dan tahmid, serta menanamkan motivasi kehambaandan memohon limpahan rahmat dan petunjuk dari-Nya. Semua itu kita lakukan seolah melihat-Nya atau memang sedang dilihat-Nya. Saat itulah tumbuhnya sebuah kehidupan baru yang disebut kehidupan spiritual di dalam diri kita.

KIBLAT HORIZONTAL SOSIAL
(Hadhrah al-A’zhâm; Mâlik al-Nâs)
“Salat” adalah perbuatan ibadah yang bersifat temporal, yang dibuka dengan takbiratul-ihram dan ditutup dengan ucapan salam. Maka “salam” merupakan kiblat horizontal dari proses-temporal tersebut. Bersamaan dengan ucapan “salam” kita memalingkan wajah ke arah kanan dan kiri, yang menandakan telah selesainya proses-temporal untuk “dinyatakan” efektifitasnya dalam proses-spasial (keruangan).
Ucapan “salam” yang merupakan proses penutup dari proses-temporal dan sekaligus menjadi pembuka dari proses-spasial kita, diangkat Nabi saw. sebagai “tema komunikasi” antar individu-sosial bagi umatnya. Maka, “salam” yang bermakna menyebarkan kesejahteraan, rahmat, dan berkah Allah ke belahan bumi sebelah kanan dan kiri dari posisi kita di depan Allah, jelas merupakan kiblat horizontal dari salat kita. Atau, dengan kata lain, melaksanakan misi Rasulullah saw. sebagai rahmatan lil-alamin.

KIBLAT HORIZONTAL KULTURAL
(Hadhrah Rabbâni; Rabb al-Nâs)
“Slat” kita diwajibkan menghadap Ka’bah, yang konon merupakan rumah Nabi adam a.s. dan kemudian dipugar dan dihuni oleh Nabi Ibrahim a.s dan keluarganya. Ka’bah terletak di dalam ruangan sujud yang bernama mMasjidil Haram, yang sejak purba diharamkan di dalamnya membunuh makhluk Tuhan. Di tempat itu semua bangsa dalam berbagai ras, warna kulit, budaya, bahasa, tingkat sosial dan ekonomi dapat berkumpul menunaikan ibadah haji, tanpa dibedakan hak dan kewajibannya.
Bila setiap melakukan salat, wajah kita diharuskan menghadap Ka’bah yang sejarah, struktur, sifat, dan keadaannya seperti digambarkan di dalam infrastruktur di atas, maka jelaslah pesan apa yang sedang disampaikan Tuhan kepada kita selama ini.
Tidak terlalu dini bila kita menyimpulkan bahwa sifat struktural yang dilemparkan oleh salat kita adalah demi menciptakan struktur budaya-semesta, di mana bumi kita yang mungil ini menjadi sebuah masjid (rumah suci keluarga manusia), yang semua warganya bebas melakukan rukuk(membuat dataran horizontal, berintegrasi, ber-rahmatan lil-alamin) dan bersujud(membuat garis vertikal, ber-evolusi spiritual) dan diharamkan di dalamnya melakukan pembunuhan.

LAMBANG KEBIJAKAN TERTINGGI MANUSIA PILIHAN
Dari semua kebijakan yang dipancarkan Nabi saw. dari ketaatan beliau memenuhi undangan Tuhan ke puncak pendakian (nubuwah) hingga turun kembali demi menunaikan “misinya yang agung” (risalah), dapat kita simpulkan kebijakan beliau yang tertinggi dan terakhir adalah:
SIKAP HIDUP yang selalu hadir di depan Allah dengan mewakili umatnya, dan hadir di depan umatnyadengan mewakili Allah”
Selebihnya adalah kemampuan beliau mewariskan kebijakan tersebut kepada umatnya. Itulah Puncak Pohon Bidara; itulah  Sidratul Muntaha; dan itu pula kandungan Salatkita.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb.[]

Diambil dari Buku “Mencari Nama Allah Yang Keseratus” karya Muhammad Zuhri.

Tentang Penulis:

“Pak Muh (K.H. Muhammad Zuhri)yang keberatan dipanggil kiai ini lahir di Kudus, Jawa tengah, pada Desember 1939. Nama beliau sebenarnya adalah Muhammad ibn Zuhri merupakan pemberian seorang kasif di desanya (Kiai Ahmad sanusi). Pak Muh pada mulanya merupakan seorang yang berprofesi sebagai Guru sampai pada akhirnya beliau memilih untuk mengadu nasib ke Ibukota. Pengalaman-pengalaman spiritual kehidupannya menjadikan dirinya memasuki dunia sufisme dan senantiasa mendalami tasawuf. Pada tahun 1990 Pak Muh ikut berpartisipasi dalam pendirian ICMI yang merupakan perkumpulan para cendekiawan muslim di Indonesia. Selain itu beliau juga membentuk halaqah-halaqah yang diberi nama Pesantren Budaya Barzakh. Tidak berhenti di situ, Pak Muh banyak sekali tercatat dalam pelbagai kegiatan sosial bahkan termasuk pengobatan bagi penderita HIV dengan media spiritual yang berpedoman pada keyakinan bahwa Allah Yang Maha Pengasih yang berperan sebagai penyembuh.”

Posting Komentar

0 Komentar

Langsung ke konten utama